Sukses

Tinjauan Islam Kenapa Ibu Lebih Berhak Mengasuh Anak Jika Terjadi Perceraian

Siapa yang Paling Berhak atas Pengasuhan? Jika suami-istri berpisah dan mereka memiliki anak yang belum tamyiz, laki-laki atau perempuan, maka ibunya lebih berhak atas hak asuh anak tersebut daripada ayah

Liputan6.com, Purwokerto - Tiap orang yang berkeluarga pasti bercita-cita pernikahan bakal langgeng. Pasang suami istri berkeinginan beranjak menua bersama, dengan anak-anak yang beranjak dewasa.

Mereka juga bisa melihat anak-anaknya membentuk keluarga baru, dan berharapmenimang cucu di sela waktunya.

Namun, terkadang harapan tak sesuai dengan kenyataan. Pernikahan berakhir dengan perceraian. Sementara, anak masih di bawah umur dan perlu pengasuhan.

Hak asuh anak juga kerap dipersengketakan di pengadilan, sebagai buntut perceraian. Lantas, dalam pandangan Islam, siapa sebenarnya yang lebih berhak mengasuh anak, pihak ibu atau ayah?

Mengutip NU Online, jika suami-istri berpisah dan mereka memiliki anak yang belum tamyiz, laki-laki atau perempuan, maka ibunya lebih berhak atas hak asuh anak tersebut daripada ayah.

Ibu lebih berhak atau didahulukan untuk mengasuh anak karena dinilai lebih sayang dan lebih sabar dalam mengurus dan mendidik. Ibu lebih lembut, lebih sensistif, dan lebih mampu memenuhi kebutuhan kasih sayang si anak, terutama yang berhubungan dengan kasih sayang dan perlakuan lembut.

إن الأم أحق بالحضانة من الأب، للأسباب التالية: لوفور شفقتها، وصبرها على أعباء الرعاية والتربية. لأنها ألين بحضانة الأطفال، ورعايتهم، وأقدر على بذل ما يحتاجون إليه من العاطفة والحنو

Artinya: “Adapun ibu lebih berhak atas pengasuhan daripada ayah karena beberapa alasan berikut: pertama, kasih sayangnya lebih luas serta kesabarannya lebih besar dalam menanggung beban pengurusan dan pendidikan. Kedua, ibu lebih lemut dalam mengasuh dan menjaga anak-anak, dan lebih mampu mencurahkan perasaan dan kasih sayang yang mereka butuhkan.” (Lihat: Musthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, jilid 4, hal. 191).

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jika Ibu Tidak Ada, Siapa yang Lebih Berhak Mengasuh Anak?

Pertanyaan berikutnya, siapa yang lebih berhak atas pengasuhan jika ibu tidak ada? Jika ibu si anak tidak ada, atau ada tapi tidak mau mengasuh, maka yang berhak setelahnya adalah nenek dari ibu, kemudian nenek dari ayah.

Kemudian ibu dari nenek pihak ibu atau ayah, kemudian saudara perempuan seayah-seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, kemudian bibi dari ibu, kemudian bibi dari ayah, kemudian keponakan dari saudara laki-laki, kemudian keponakan dari saudara perempuan.

Hak Asuh Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Menurut KHI, hak asuh anak tak jauh berbeda dengan yang dikemukakan dalam literatur hukum Islam atau fiqih. Dalam Pasal 105 Inpres No. 1991 tentang Penyebarluasan KHI disebutkan, dalam hal terjadinya perceraian: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada si anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Perlu diketahui, dalam Islam ada lima hak penting anak. Yaitu hak nasab, hak persusuan, hak pengasuhan, hak nafkah, dan hak perwalian (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 10, hal. 7245).

Di antara kelima hak tersebut, hak pengasuhan cukup relevan mengingat tingginya angka perceraian yang berimbas pada terlantarnya sejumlah hak anak atau perebutan hak asuh. Padahal, pengasuhan sangat menentukan pertumbuhan, pendidikan, dan masa depan anak.

Hakikat dan Tujuan Hak Pengasuhan Dalam bahasa Arab, pengasuhan dikenal istilah hadhanah. Secara bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusui meletakkan anaknya di pangkuan, seakan-akan ibu pada saat itu melindungi dan memelihara anaknya.

Kemudian, hadhanah dijadikan sebagai istilah mendidik dan memelihara anak sejak lahir sampai sanggup mengurus dirinya sendiri oleh kerabat anak tersebut. (Lihat: Sohari Sahroni, Fiqih Keluarga, [Serang: Dinas Pendidikan Provinsi Banten], 2011, hal. 231).

 

3 dari 3 halaman

Jaminan Pemenuhan Hak Anak

Kemudian Musthafa al-Khin dari kalangan ulama Syafi‘iyah mendefinisikan bahwa hadhanah sebagai bentuk merawat orang yang belum mampu mandiri mengurus dirinya, termasuk mendidik dan memenuhi berbagai kebutuhannya. Masa pengasuhan ini berakhir hingga usia tamyiz.

Lewat dari usia tamyiz tidak lagi disebut pengasuhan atau hadhanah, tetapi disebut kafalah. (Lihat: Musthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, jilid 4, hal. 191). Adapun hikmah atau tujuan pensyariatan hadhanah adalah mengatur tanggung jawab yang berhubungan dengan perawatan dan pendidikan anak kecil setelah orang tuanya berpisah, berselisih, atau kesulitan ekonomi.

Sehingga, ketika pengasuhan anak ini diabaikan hanya karena terjadi perceraian atau perselisihan di antara kedua orang tuanya, pun tidak ada pihak yang peduli atas pengasuhannya, maka telah terjadi kezaliman yang besar.

Dengan kata lain, syariat mengatur bahwa pengasuhan anak tidak terpengaruh dengan perceraian, perseteruan, dan perselisihan apa pun yang terjadi di antara para wali anak tersebut.

Tujuannya yakni untuk menjamin hak anak terpenuhi, meski orangtuanya bercerai, tidak bisa mengasuh karena berbagai sebab, dan lainnya. Wallahu A'lam.

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.